Topik Sejarah Mandar telah menjadi objek penelitian keilmuan dan tajuk
pembicaraan dalam berbagai seminar. Meskipun demikian tampak bahwa
penggalan-penggalan objek studi dan pembicaraan itu masih belum diramu
menjadi karya standar Sejarah Mandar. Itulah sebabnya dalam beberapa
makalah seminar masih dijumpai beberapa hal yang belum baku untuk di
pahami dan dijadikan dasar berpijak.
Sebagai contoh dapat
ditampilkan pengertian Mandar. Dalam makalah dari H. Mochtar Husein
(1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar
berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan;
penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar;
(2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3)
Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam
perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang
berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah
mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua,
yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa.
Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai
sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai
Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah
Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu,
Buding-Buding, dan Lariang.
Selain itu, dalam buku dari H.
Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda.
Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata
Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut
Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu
ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama
Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa
(Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai
Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas
bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu
mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana
bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya
dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.
Gambaran tentang nama
Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa referensi.
Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan itu, saya
ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan. Saya berharap
dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan, kita
dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu.
Latar Kesejarahan
Dalam
salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan keterangan yang
menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini mendarat di
hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud
(1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu‘ Sadang.
Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah
berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa
glasial). Selain itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini
adalah Kelompok Migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari
daerah Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan
masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk daerah pesisiran maupun
daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang sama, yang oleh
berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah penyakit
atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan membangun
pemukiman baru.
Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan
diperoleh keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman.
Kisah kerajaan mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya
persebaran penduduk ke berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena
raja Rura, Londong di Rura yang bergelar Sappang ri Galete berkehendak
melakukan perkawinan antara anak-anak sendiri, yang laki-laki di
kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana yang dilarang para
dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti dewata yang
mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara pernikahan
dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya
tidak berangkat meninggalkan negerinya (Pemerintah Propinsi Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991). Tampak hal yang senada juga dijumpai
dalam kisah Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara
kembarnya, We Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada
pengembaraannya ke Cina untuk mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai,
namun karena ingin kembali ke Luwu, maka akhirnya ia ditarik ke
paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya dimarairatkan ke dunia
atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini mendasari aturan adat
bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan ditenggelamkan ke air
dalam, di danau atau di laut.
Akibat lain dari perbuatan insest
adalah bencana dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan
kehidupan yang kaos. Yang kuat memangsai yang lemah sehingga terjadi
terus menerus perang tanding antar satu persekutuan dengan persekutuan
lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, kondisi itu diungkapkan
dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti kehidupan ikan
dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat
senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang
dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan
ditampilkan konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu
yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan
pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak
memiliki kekuasaan mutlak karena dibentuk pula dewan hadat yang
berfungsi legislatif dalam mengontrol kewenangan pemegang kendali
politik.
Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini
memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar.
Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian
tersebar ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa
penduduk Sulawesi Selatan, bahkan hingga Sulawesi tengah memiliki latar
kesejarahan yang sama dan bersaudara. Dalam kisah Sejarah Sendawa,
berdasarkan tradisi lisan, manusia pertama (Tumanurung) yang datang di
Tanetena adalah tujuan orang Tumanurung yang kemudian masing-masing
mengembara ke kaili, luwu, toraja, Bone, Cina, Sendana, dan yang satunya
tidak diketahui ke mana perginya karena masing-masing memiliki semangat
kepemimpinan. (Ahmad Sahur 1984). Kisah pengembaraan yang sama pula
dalam ceritra rakyat di Enrekang, sehubungan dengan kerajaan Rura, dan
kisah dalam satra I Galigo.
Sementara penyelesaian proses
kehidupan masyarakat yang kaos itu terkisah dengan tampilnya I
Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga dengan nama Todilaling.
Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia mengembara dan
diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani)
Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna
(1510-1546). Pada waktu menjadi pertentang di negerinya. Ia dipanggil
pulang untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan
menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan
diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu
dibentuk dari: Napo. Mosso, Todatodang, dan Samasundu. Pusat
pemerintahan dinapo, satu wilayah yang sejak lama dikenal menjadi bandar
niaga di daerah ini. Persekutuan ini menjadi dasar kerajaan Balanipa,
sehingga dia dikenal sebagai raja Balanipa I. proses pemelihan dan
pengangkatannya ini di pandang sebagai dasar bagi pembentukan kesatuan
pemerintahan yang dikategorikan dengan kerajaan.
Keberhasilan
dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat dengan konsep menyatukan
kelompok-kelompok Tomakaka, itu dilanjutkan pula oleh penerus pemegang
kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan
menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan
menggabungkan lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau
(baca: Ahmad Sahur, 1984: 89-93; Saharuddin, 1985: 35-40). Ia juga
memprakarsai Muktamar Tamenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu
Babana Binanga (PBB). Pada dasarnya pembentukan wadah ini merupakan
wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke landen) dengan
menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan itu dengan
status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan Kerajaan
lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.
Dalam perkembangan
kemudian, ia juga bergiat menjalin persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan
kecil di daerah pedalaman yang telah membentuk persekutuan Pitu Ulunna
Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan: Rantebulahan, Aralle, Mambi,
Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Permusyarawatan yang
diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan perjanjian Luyo
(Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu adalah kesepakatan
bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Itulah
sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban menangkal musuh
yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh yang
datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah
pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan
mata. Menurut Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan
istilah ‘Sipamandar‘ yang berarti saling kuat menguatkan (Saharuddin,
1985: 41).
Latar Kesejarahan ini yang mendasari penyebutan dalam
penataan pemerintahan di daerah ini setelah pihak pemerintah Hindia
Balanda berhasil memaksakan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan
menandatangani pernyataan pendek (Korte Verklaring)4 dengan menyebut
wilayah PUS sebagai negeri-negeri pedalaman dari Balanipa (bovenlanden
van Balanipa) dan Polewali dan Kerajaan Binuang sebagai negeri pesisir
dari Balanipa (beneden landen van Balanipa)5 Dalam penamaan wilayah di
daerah ini tampak pemerintah Hindia Balanda mengalami kesulitan untuk
menyebut berdasarkan nama daerah mengingat pembentukan wilayah itu
terdiri dari beberapa kerajaan yang menjadi satu federasi ataupun
berbentuk konfederasi. Oleh karena itu pusat pemerintahan dijadikan
patokan penamaan wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah PUS yang berpusat
di Mamasa (Wilayah Tabulahan) menjadi nama wilayah PUS; sementara
Balanipa dan Binuang yang berpusat di Polewali disebut saja Polewali.
Pada
periode pemerintahan Hindia Belanda ini, yang secara de yure dan de
faktor setelah penandatanganan Pernyataan Pendek itu pada permulaan abad
ke-20 itu, seluruh wilayah yang tergabung dalam PBB dan PUS disebut
afdeeling Mandar, dengan pusat pemerintahan di Majene. Wilayah
afdeeling ini terbagi dalam empat onderafdeeling, yaitu onderafdeeling:
Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa. (Staatblad 1924 No. 476 dan
Staatblad 1940 No. 21). Penamaan itu memberikan petunjuk bahwa nama
Mandar telah mencakup wilayah pemukiman rakyat dari pesekutuan PBB dan
PUS, dan telah menjadi konsep perwilayahan yang luas. Penamaan wilayah
itu kemudian menampilkan nama itu sebagai mengejawantakan diri kelompok
penduduk penghini wilayah iti, sehingga umum dijadikan salah satu etnis
di Sulawesi Selatan, untuk membedakannya dari kelompok Makassar dan
Bugis.
Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan,
pembentukan kelompok Bugis dan Makassar adalah suatu gagasan dari
Cornelis Speelman yang mengarah pada politik adu-domba. Karena itu dalam
Perjanjian Bungaya (1667), Kelompok Bugis adalah Kerajaan-Kerajaan yang
berpihak pada VOC dan Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669), yaitu
Bone, Soppeng, Luwu, dan Federasi Toratea (Binamu, Bangkala, dan
Laikang). Sementara kerajaan-kerajaan yang berpihak kepada kerajaan
Makassar dijadikan Kelompok Makassar, yaitu semua kerajaan yang tidak
berpihak pada VOC, termasuk Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Yang menjadi
pemimpin kelompok Bugis adalah Kerajaan Bone, sementara yang menjadi
pemimpin Kelompok Makassar adalah kerajaan Gowa. Namun dalam penataannya
Kelompok Bugis mendapat peluang memperluas pengaruh kekuasaannya
sehingga dalam pengembangan kemudian kerajaan-kerajaan yang dahulunya
masuk dalam Kelompok Makassar beralih menjadi anggota Kelompok Bugis
seperti Maros, Pangkajene, Tanatte, Malute Tasi, Kelompok Ajataparang,
dan Mandar. Oleh karena itulah dalam pemberitaan pihak pemerintahan
Belanda kemudian orang-orang Mandar (Madereezen) disebut juga orang
Bugis (Bugineezen) (Encyclopedie Van. Nederlandsch-Indie, “Mandar”:
664).
Penataan administrasi pemerintahan kolonial itu mengalami
perubahan ketika pemerintah Indonesia menata organisasi pemerintahan di
Sulawesi. Berdasrkan peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran
Negara 1960 Nomor 38). Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara
terdiri dari 27 Daerah Tingkat II, dimana wilayah Mandar terbagi dalam
tiga daerah Tingkat II (Kabupaten) yaitu Kabupaten: Majene, Mamuju dan
Polewali-Mamasa. Pada perkembangan terakhir berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2002, pemerintahan memisahkan Mamasa dari Kabupaten
polewali-Mamasa dan menjadikannya satu Kabupaten daerah Tingkat II yang
Menjadi dengan nama Kabupaten daerah Tingkat II Mamasa. Penataan ini
tampak kembali mengikuti penataan pada waktu pemerintahan Hindia Belanda
maupun ketika Belanda tentang daerah ini yang saya tekuni, saya belum
menemukan satu artikel yang menjelaskan tentang nama Mandar, kecuali
penyebutan Makassar dan Sulawesi.
Interpretasi tentang
pengadopsian kata mandar yang berarti sungai menjadi dasar penyebutan
kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal itu didasarkan pembentukan
persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu Pitu Babana Binanga
(Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju Kerajaan Hulu
Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah ini
terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar
yang berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar
terdapat sejumlah besar sungai yang bermuara di Selat Makassar.
Perkiraan ini juga di ungkapkan oleh Mocktar Husein dan H. Saharuddin,
dan tentu hal itu terkait dengan kosa kata bahasa penduduk Balanipa yang
menyebut sungai dengan kata mandar (mandi ke sungai = namauna di
mandar). Sementara kosa kata lainnya adalah binanga dan salu yang
memiliki arti “Sungai”.
Tinjauan Akhir
Gambaran
periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa penamaan Mandar telah
mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan Mamuju hingga ke
Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam konsep
kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju,
Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah
Kabupaten dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser
konsep kewilayahan Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah
melahirkan pemahaman etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah
itu, maka konsep ini masih menghangat dan memiliki juga oleh penduduk
Mamuju, Majene, dan Mamasa.
Mandar dengan berbagai interpretasi
penamaannya dapat dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan
Balanipa, yang Wilayahnya kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten
Polewali-Mamasa, sekarang minius wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar
Kesejarahan, daerah Kabupaten ini mengemban peran pemersatu, pencipta
keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB dan PUS, bahkan telah
berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan demikian beralasan
apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya gagasan untuk
menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten dengan
mengeban nama Mandar.
Namun demikian patut dipikirkan mengingat
nama Mandar telah mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya
Penduduk Kabupaten Polewali Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten
Mandar untuk satu bagian dari wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan
ikatan emosional Kelompok Mandar. Namun bila penamaan itu mendapat
dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah mengidentifikasi diri
menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar, hal itu dapat
menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai nama
baru Kabupaten Polewali-Mamasa.
Hal lain yang dapat
dipertimbangkan adalah mencari nama lain. Penamaan Polewali lebih
berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk seluruh wilayah
Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan cukup
beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang.
Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari
kerajaan-kerajaan dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat
yang tertib dan tentram. Karena itu dapat diabadikan melalui akronim,
untuk memperoleh penyebutan nama Kabupaten yang baru, sebagai dasar
motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintah yang tertib dan
tentram.
Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal
sebagai salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat Sulawesi,
disamping: Siang, Bacokiki, dan Suppa. Bandar Tallo dan kemudian
Sombaopu baru dibangun oleh raja Gowa Ke-9, Tumaparissi Kalonna
(1510-1546). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Mandar (sesungguhnya
Kerajaan Napo) mengalihkan kekuasaannya atas Gorontalo kepada kerajaan
Makassar. Hal itu tercatat dalam Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo
membentuk persekutuan dan melibatkan diri dalam dunia perdagangan
maritim, kerajaan-kerajaan di Mandar telah mengembangkan pengaruh
kekuasaannya ke daerah lain, terutama kaili (Donggala) dan Gorontalo.
__________
Artikel
diambil dari Kumpulan Makalah Seminar Sehari Menggagas Perubahan Nama
Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Oleh DPD KNPI Polewali Manda
Senin, 05 Maret 2012
Rabu, 29 Februari 2012
Nama besar dari Maraqdia ALU..
ALU adalah sebuah Kerajaan yang daerahnya berada didesa allu yang meliputi Peto'osang dan sekitarnya, didaerah alu salah satu Maraqdia yang paling dikenal adalah Arajang ALU Calo Ammana I Wewang Maraqdia Malolo Balanipa di era pemerintahan Arajang Balanipa To Kape, Kacoq Puang Ammana I Pattolawali Arajang ALU setelah Calo Ammana I Wewang keturunan dari Maraqdia Pamboang yang pernah memerintah disekitar tahun 1887 sampai sekitar tahun 1920 dan setelahnya dia digantikan oleh Arajang Annangguru Maraqdia ALU yang terakhir keturunan dari Maraqdia Lombo' yang memerintah sampai sekitar tahun 1957 beliau adalah raja terakhir dari kerajaan ALU yang juga disebut sebagai Pattolawali kisah pengangkatan Annangguru anak dari Maraqdia Lombo menjadi Arajang ALU dikisahkan pada saat kerajaan mencari seorang raja baru maka disebarkan lah sayembara untuk mencari kesatria- kesatria didaerah balanipa dan sekitarnya untuk ditarungkan dan pemenangnya akan menjadi raja dikerajaan ALU.. syarat mengikuti sayembara adalah peserta harus keturunan dari Maraqdia atau Hadat, disitulah terjadi pertarungan yang dimenangkan oleh Annangguru maka diangkatlah Annangguru keturunan dari Maraqdia Lombo Menjadi Arajang ALU yang ternyata gelar raja itu disandang oleh beliau hingga akhir hayatnya....
Arajang Annangguru ALU memiliki 7 orang istri yang diakui oleh adat... tidak disebutkan nama dan siapa semua para istri beliau..
anak yang pernah disebutkan akan mengganti posisi beliau adalah Achmad Kanna Turusi yang ternyata tidak menginginkan posisi ayahandanya yang pada akhirnya beliau merantau ke Mamuju Kerajaan Manakarra dan menikahi anak dari Maraqdia Pue Ramalang atau dikenal sebagai Puena Banjir keturunan Maraqdia Napo daerah Panampalli Napo
Langganan:
Postingan (Atom)